Bismillah..
Bahasa Jawa ala Jogja
Bahasa jawa banyak sekali macamnya, dari mulai logat, kosa
kata, atau mungkin tingkatan berbahasa, dan lain-lain.
Kali ini penulis mencoba
mengamati bahasa jawa ala masyarakat jogja. Pengamatan dilakukan penulis
terhadap masyarakat jogja yang penulis jumpai. Entah itu teman, tetangga kos,
orang jualan atau yang lain.
1.
** Penggunaan
akhiran “e” atau “je”
Yang sering
penulis dengar, banyak orang jogja melafalkan huruf “e” pada akhir kalimat. Akan
tetapi yang sering penulis jumpai, akhiran “e” lebih sering dipakai daripada “je”.
Akhiran e kadang diucapkan agak panjang dengan logat yang khas. Para pendatang
pun banyak juga yang terpengaruh dengan akhiran “e” ini. Sehingga sering
terdengar dalam obrolan para mahasiswa menggunakan akhiran “e”, bahkan
pembicaraan menggunakan bahasa Indonesia bannyak yang melafalkan “e” di akhir. Oiya,
akhiran “e” juga sering digunakan dalam kalimat pertanyaan.
Penggunaan
akhiran “e” tidak pada semua kalimat. Pertanyaannya, kapan akhiran “e” ini
digunakan? Tampaknya penulis masih sulit medefinisikannya.
Agar lebih
jelas, langsung saja simak beberapa contoh berikut:
-
Iyo e atau ho o e -> artinya “iya”.
Ora e. Artinya “tidak”.
Kata di atas merupakan jawaban pertanyaan “yes or no”.
Di jogja sering sekali kita dengar orang
mengucapkan kata di atas untuk menjawab pertanyaan yang membutuhkan jawaban ya
atau tidak.
A: kowe durung mangan to?
B: iyo e. Eh,
kowe melu ra mengko sore?
A: ora e.
Sebenarnya tidak hanya iyo e dan ora e. Sering sekali
jawaban pertanyaan yang singkat ditambahi “e”.
-
Aku ra iso e -> jika diterjemahkan secara
kasar artinya “aku tidak bisa”. Namun, penggunaan “e” di sini akan sangat
terasa. Beda sekali antara memakai “e” dan tidak.
Contoh “e” yang “fungsinya” sama dengan kalimat di atas:
“aku durung mangan e” artinya aku belum makan
“aku arep lunga e” arinya aku mau pergi
-
“e” yang digunakan dalam kalimat pertanyaan:
“ngopo e?” artinya “kenapa?”
“piye e?” artinya “bagaimana?”
“wis mangan durung e?” artinya “sudah makan belum?”
2 ** Penggunaan
kata “sikik”
Orang jogja juga
sering menggunakan “sikik”. Apa itu “sikik”?
Dalam bahasa
jawa baku, sikik berarti dhisik. Agar lebih jelas langsung saja simak
contohnya:
-
Turu sikik wae, wis jam semene artinya “Tidur dulu
aja, sudah jam segini ”
Kalimat di atas kalau dalam bahasa jawa baku: “turu dhisik
wae, wis jam semene”
Penulis dapati
bahwa penggunaan kata “sikik” tidak hanya di jogja. Bahkan sampai Klaten. Masyarakat
Klaten bagaian barat daya dekat dengan perbatasan DIY pun ada (tidak sedikit)
yang menggunakan kata “sikik” seperti wilayah kecamatan Prambanan, Gantiwarno
atau Jogonalan.
3. ** Penggunaan
kata “le” atau “sik”
Menurut pengamatan
penulis, penggunaan 2 kata itu menggantikan kata “sing” dalam bahasa jawa
resmi. Dalam bahasa Indonesia berarti “yang”. Dalam suatu kasus tertentu, penggunaan
“le” tidak bisa digantikan dengan “sik” ataupun sebaliknya.
Simak contoh
berikut:
-
Sik tuku buku mau sopo? Atau le tuku buku mau
sopo? Artinya “yang beli buku tadi siapa?”
-
Le mlaku koyo wong edan artinya “jalannya
seperti orang gila”. Nah “le” dalam kalimat itu kurang pas jika digantikan
dengan “sik”
Di solo, magelang, ataupun jawa timur, kata “le” atau “sik”
jarang dijumpai. Masyarakat lebih sering menggunaka “sing”
Yaa, luar biasa memang bahasa
jawa ini. Antar daerah pasti ada perbedaan walaupun sedikit. Masih banyak
bahasa jawa khas jogja yang lain, seperti kata “njuk” “iya po” atau “lho”, “ki”
dan lain-lain
Semoga penulis bisa melanjutkan
pembahasan tidak jelas ini hehehe J
mantab mas
BalasHapus