Laman

Sabtu, 03 Mei 2014

Bahasa Jogja!

Bismillah..

Bahasa Jawa ala Jogja

Bahasa jawa banyak sekali macamnya, dari mulai logat, kosa kata, atau mungkin tingkatan berbahasa, dan lain-lain.

Kali ini penulis mencoba mengamati bahasa jawa ala masyarakat jogja. Pengamatan dilakukan penulis terhadap masyarakat jogja yang penulis jumpai. Entah itu teman, tetangga kos, orang jualan atau yang lain.
1.   
         ** Penggunaan akhiran “e” atau “je”


Yang sering penulis dengar, banyak orang jogja melafalkan huruf “e” pada akhir kalimat. Akan tetapi yang sering penulis jumpai, akhiran “e” lebih sering dipakai daripada “je”. Akhiran e kadang diucapkan agak panjang dengan logat yang khas. Para pendatang pun banyak juga yang terpengaruh dengan akhiran “e” ini. Sehingga sering terdengar dalam obrolan para mahasiswa menggunakan akhiran “e”, bahkan pembicaraan menggunakan bahasa Indonesia bannyak yang melafalkan “e” di akhir. Oiya, akhiran “e” juga sering digunakan dalam kalimat pertanyaan.
Penggunaan akhiran “e” tidak pada semua kalimat. Pertanyaannya, kapan akhiran “e” ini digunakan? Tampaknya penulis masih sulit medefinisikannya.
Agar lebih jelas, langsung saja simak beberapa contoh berikut:

-          Iyo e atau ho o e -> artinya “iya”.
Ora e. Artinya “tidak”.
Kata di atas merupakan jawaban pertanyaan “yes or no”.  Di jogja sering sekali kita dengar orang mengucapkan kata di atas untuk menjawab pertanyaan yang membutuhkan jawaban ya atau tidak.

A: kowe durung mangan to?
B: iyo e.  Eh, kowe melu ra mengko sore?
A: ora e.

Sebenarnya tidak hanya iyo e dan ora e. Sering sekali jawaban pertanyaan yang singkat ditambahi “e”.

-          Aku ra iso e -> jika diterjemahkan secara kasar artinya “aku tidak bisa”. Namun, penggunaan “e” di sini akan sangat terasa. Beda sekali antara memakai “e” dan tidak.
Contoh “e” yang “fungsinya” sama dengan kalimat di atas:
“aku durung mangan e” artinya aku belum makan
“aku arep lunga e” arinya aku mau pergi

-          “e” yang digunakan dalam kalimat pertanyaan:
“ngopo e?” artinya “kenapa?”
“piye e?” artinya “bagaimana?”
“wis mangan durung e?” artinya “sudah makan belum?”

2    ** Penggunaan kata “sikik”

Orang jogja juga sering menggunakan “sikik”. Apa itu “sikik”?
Dalam bahasa jawa baku, sikik berarti dhisik. Agar lebih jelas langsung saja simak contohnya:
-          Turu sikik wae, wis jam semene artinya “Tidur dulu aja, sudah jam segini ”
Kalimat di atas kalau dalam bahasa jawa baku: “turu dhisik wae, wis jam semene”
Penulis dapati bahwa penggunaan kata “sikik” tidak hanya di jogja. Bahkan sampai Klaten. Masyarakat Klaten bagaian barat daya dekat dengan perbatasan DIY pun ada (tidak sedikit) yang menggunakan kata “sikik” seperti wilayah kecamatan Prambanan, Gantiwarno atau Jogonalan.

 
3.      **  Penggunaan kata “le” atau “sik”

Menurut pengamatan penulis, penggunaan 2 kata itu menggantikan kata “sing” dalam bahasa jawa resmi. Dalam bahasa Indonesia berarti “yang”. Dalam suatu kasus tertentu, penggunaan “le” tidak bisa digantikan dengan “sik” ataupun sebaliknya.

Simak contoh berikut:
-          Sik tuku buku mau sopo? Atau le tuku buku mau sopo? Artinya “yang beli buku tadi siapa?”
-          Le mlaku koyo wong edan artinya “jalannya seperti orang gila”. Nah “le” dalam kalimat itu kurang pas jika digantikan dengan “sik”

Di solo, magelang, ataupun jawa timur, kata “le” atau “sik” jarang dijumpai. Masyarakat lebih sering menggunaka “sing”

Yaa, luar biasa memang bahasa jawa ini. Antar daerah pasti ada perbedaan walaupun sedikit. Masih banyak bahasa jawa khas jogja yang lain, seperti kata “njuk” “iya po” atau “lho”, “ki” dan lain-lain

Semoga penulis bisa melanjutkan pembahasan tidak jelas ini hehehe J

1 komentar: